Digital Marketing Bukan Sulap

Digital marketing bukan sulap

Tiba-tiba semua orang ingin menjalankan digital marketing untuk usahanya, apapun jenisnya. Gimana gak, efek pandemi, banyak usaha-usaha berhasil go online. Ngarepin offline butuh kesabaran lahir batin atau cari cara baru. Salah gak? ya gak salah, cuma jangan sampai asal ikut-ikutan tanpa tahu ilmunya. Jangan mikir, dengan langsung ngiklan online, penjualan bisa meroket tajam. Banyak hal yang mesti dipahami sebelum memulainya. Yang mau uji coba sih gak masalah, cuma mesti cepet balik ke jalan yang benar. Jangan sampai kayak membuang garam di lautan.

Ya, digital marketing itu bukan sulap, yang tinggal sebut “bim salabim” penjualan langsung bagus. Apalagi pake bahasa kalam tuhan “kun fayakun”, bisa sesat kita. Yang mestinya dilakukan adalah seperti ayat pertama di Al Quran yaitu “Iqra!” bacalah!. Ya, pahami dulu ilmunya.

Di digital marketing, kita perlu memiliki cara berpikir (thinking way) ala seorang marketer. Kita mesti paham dari mana memulainya, alurnya seperti apa. Dalam pemahaman saya, berdasarkan pengalaman, paling gak ada 4 hal dan mesti berurutan, yaitu Data, Creativity, Media, dan Measurement. Semuanya saling berkaitan.

1. Data

Sebelum kita memulai merancang strategy digital marketing, kita mesti memahami dulu siapa audience dari produk kita. Orangnya seperti apa, ketertarikannya seperti apa, kebiasanya seperti apa, masalah mereka apa, kelebihan dan kekurangan produk yang mereka biasa gunakan, strategi produk-produk tersebut mendekati mereka, pokoknya hal-hal menyangkut mereka. Biasanya, untuk mempermudah, saya menggunakan mind mapping, tulis semua yang menggambaran mereka. Audience itu kebagi 2, external dan internal. Kalau external, yaitu audience yang ada di market. Sedangkan internal, lebih ke pelanggan kita sendiri (existing customers) . Kita harus paham betul keduanya, sehingga nanti kita bisa membuat kesimpulan apa problem mereka. Bandingkan dengan solusi yang kita tawarkan.

2. Creativity

Dari kesimpulan yang kita dapat dari data yang kita olah, lalu kita bisa perkuat positioning produk kita dimana, mau dikenal seperti apa, bagaimana caranya solusi dari produk kita bisa masuk ke benak mereka (dalam hal ini, sebutannya tahap awareness), menjadi bagian dari mereka, dan dipercaya. Untuk masuk ke benak mereka, kita perlu melakukan komunikasi pendekatan yang sefrekuensi. Ambil contoh, jika mereka ternyata memiliki ketertarikan terhadap dunia motor, maka konten kita dan gaya komunikasi kita mesti nyambung, tepatnya lebih personalized. Sehingga ketika kesamaan itu bertemu, kesempatan mereka ingin lebih tahu lebih tinggi dan masuk ke tahap selanjutnya, yaitu engagement.

Di tahap ini, sebenarnya tahapan konfirmasi, kasarannya itu seperti “benar gak sih kamu itu seperti yang kamu bilang?”. Jadi dilakukan lah pedekate. Stalking dulu konten-konten socmed, mereka lihat kontennya apa bener-bener relate sama mereka atau gak. Kalau tadi ada bau-bau motor, mestinya kontennya relate dan cara ngomongnnya memang sebrosist gitu dah. Lalu liat juga, komentar komentar orang terhadap produknya, banyak bagusnya atau jeleknya. Oh ternyata bagus misalnya. Makin membahanalah kekepoannya, makin penasaran. Ngobrolah mereka sama admin atau customer service. Atau bisa jadi langsung percaya. Kalau udah gitu, usai sudah tahapan engagement, masuklah ketahapan selanjutnya, yaitu conversion.

Bisa dikata tahapan ini menuju final, karena mereka sudah willing to buy. Tinggal butuh dorongan untuk mereka menyelesaikan pembelian. Bisa dengan follow-up berkelanjutan jika dia belum beli atau assist mereka cara membeli sampai selesai. Jika sudah selesai, selanjutnya bagaimana caranya brand kita tetap dibenak mereka, selalu engage, dan percaya produk kita adalah solusi masalah mereka.

Nah untuk tahapan itu semua, perlu kreatifitas untuk bagaimana pesan di setiap tahapan tersampaikan tepat sasaran. Bangun komunikasi yang bener-bener relate sama mereka. Awareness (komunikasinya gimana?) -> Engagement (komunikasinya gimana) -> Conversion (komunikasinya gimana). Tahapan ini kita sebut juga sebagai marketing funnel.

3. Media

Well, kalau strategi komunikasinya udah dibikin, selanjutnya, yang paling penting, dengan apa komunikasinya bisa sampai ke mereka. Disinilah kita bicara mengenai media. Pertanyaannya, apa semua media kita bisa gunakan? apakah strategi komunikasinya bisa sama di setiap medianya?. Inilah pentingnya kenapa kita harus memulainya dari “DATA” seperti di poin 1. Kita mesti paham mereka audience kita biasa menggunakan media apa di digital, cara mereka berkomunikasi atau mengkonsumsi konten di setiap media, di waktu kapan mereka aktif, dan menggunakan device apa. Belum lagi, kita juga mesti paham karakter di setiap media itu sendiri. Tentu berbeda cara mereka mengkonsumsi konten di Tiktok dan Youtube. Pun juga berbeda cara mesin Tiktok dan Youtube agar mereka stay di media mereka. Nah inilah yang kita mesti pahami. Ketika ditahapan awareness (menggunakan media apa dan strategy nya apa ?) -> engagement (menggunakan media apa dan strategy nya apa ?) -> conversion (menggunakan media apa dan strategy nya apa ?).

4. Measurement

Agar tahu apakah strategy digital marketing kita berhasil atau gak, perlu ada pengukuran yang menyatakan jika udah mencapai target tertentu, strategy dianggap berhasil. Atau bahasa trendnya sering disebut key performance indicator (KPI) atau juga disebut objective and key results (OKR). Tentu masing-masing tahapan KPI bisa beda-beda tergantung apa yang kita fokuskan. Saya coba kasih contoh beberapa:

  • Awareness -> KPI nya bisa jumlah audience yang reach to attract (eg. clicks, views, ad / brand recall, etc). Contoh setelah diadakan research, audience umur 25 – 45, penyuka motor, tinggal di jabodetabek, totalnya ada 5 juta orang. Pertanyaanya dari 5 juta ini, berapa banyak dari mereka yang terpapar konten brand kita (reach), berapa banyak yang kemudian click atau view. dan dari yang click atau view, berapa banyak yang ingat brand kita setelah selang waktu (ad / brand recall). Juga diukur cost per click / view / ad recall nya.
  • Engagement -> KPI nya bisa jumlah audience yang attract to engage (eg. follower, engagement rate, time spent, comments, lead, free member, etc). Dari yang sudah terfilter di tahap awareness, berapa banyak kemudian berinteraksi di media kita (social media, website, chat platform, etc), berapa engagement rate nya, berapa yang join jadi follower, seberapa banyak mereka sering berkomunikasi. Juga diukur cost per engagement nya.
  • Conversion -> KPI nya bisa jumlah audience yang engage to convert ( chat to customer services, add to cart, qualified lead, sales, repeat order, up-selling, cross-selling, etc). Dari audience yang engage, berapa banyak yang kemudian chat customer service menanyakan produk, atau berapa banyak add to cart di website e-commerce, atau berapa banyak beli, atau berapa banyak yang kemudian repeat order, atau berapa banyak yang kemudian beli produk turunannya. Juga diukur cost per conversion nya.

Proses dari Data -> Creativity -> Media -> Measurement, ini menjadi life cycle yang tidak pernah berhenti dan menjadi way of thingking kita dalam menjalankan digital marketing. Semakin sering dilakukan, semakin tajam strategy yang kita lakukan. Dan bisa dikata haram hukumnya kalau proses ini dihentikan, kecuali memang ingin dimatiin bisnisnya.

Jadi, begitulah digital marketing. Bukan sulap. Butuh proses untuk bisa mencapai target yang diinginkan. Butuh kesabaran, kepemahaman, dan keuletan. Tidak ada jalan pintas. Pun kalau ada, tidak akan bertahan lama. Dunia online, dunia digital ibarat lautan, kalau tidak tahu ilmunya, ya kayak buang garam disana.

1 Comment

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.