
WeWork. Kalau kamu denger nama ini beberapa tahun lalu, pasti yang kebayang adalah salah satu startup paling keren di dunia. Didirikan sama Adam Neumann di tahun 2010, WeWork bawa ide yang beda: bikin ruang kerja bersama alias coworking space yang stylish, modern, dan fleksibel. Gaya desainnya kekinian banget, cocok buat para startup, freelancer, atau siapa pun yang nggak mau kerja di kantor konvensional. Di awal kemunculannya, WeWork langsung booming, dianggap inovatif, bahkan jadi simbol revolusi dunia kerja. Tapi sayangnya, di balik semua itu ada kisah kelam yang akhirnya bikin mereka runtuh.
Awalnya, ide WeWork itu emang menarik. Mereka nyewa gedung besar, direnovasi biar lebih modern, terus disewain lagi ke orang atau perusahaan dengan harga lebih mahal. Konsepnya sederhana tapi kelihatan keren karena dibungkus dengan narasi “startup teknologi.” Adam Neumann, dengan gaya karismanya, sukses banget ngejual mimpi ini ke para investor. Mereka nggak cuma investasi biasa, mereka percaya WeWork adalah masa depan dunia kerja. Bahkan SoftBank, salah satu investor terbesar di dunia, rela ngucurin miliaran dolar buat bikin WeWork tumbuh lebih besar.
Di puncak kejayaannya, valuasi WeWork sempat menyentuh angka fantastis: 47 miliar dolar. Semua orang terpesona. Neumann dibilang visioner, dan WeWork dianggap sebagai unicorn paling bersinar. Tapi siapa sangka, semua itu ternyata cuma ilusi. Di balik layar, WeWork punya masalah besar yang terus dipendam sampai akhirnya meledak.
Salah satu masalah utamanya adalah gaya operasional mereka yang bakar uang gila-gilaan. Setiap dolar yang masuk dari investor langsung dipakai buat nyewa gedung baru, renovasi besar-besaran, atau ekspansi ke kota lain. Model bisnis mereka itu bener-bener bergantung sama pertumbuhan agresif. “Scale up or die,” mungkin itu yang ada di kepala Neumann. Masalahnya, pertumbuhan ini nggak dibarengi sama perhitungan keuangan yang matang. Mereka terus rugi, tapi tetap pede karena selalu ada investor yang siap nyuntik uang.
Di tahun 2018, WeWork rugi 1,9 miliar dolar, padahal pendapatannya “cuma” 1,8 miliar dolar. Itu artinya, mereka ngebakar lebih banyak uang daripada yang mereka hasilkan. Tapi, karena hype-nya masih tinggi, semua orang kayak nggak peduli. Mereka lebih fokus sama pertumbuhan, bukan profitabilitas. Dan ini jadi bumerang buat WeWork.
Selain masalah keuangan, ada juga drama di level manajemen. Adam Neumann, si pendiri sekaligus CEO, dikenal sebagai sosok yang karismatik tapi juga kontroversial. Dia punya visi besar yang kadang terdengar absurd, kayak pengen WeWork jadi “we-company” yang bakal mengubah cara hidup manusia, bukan cuma cara kerja. Ambisi besar ini bikin Neumann ngelakuin banyak keputusan nekat. Dia nggak segan-segan keluarin uang perusahaan buat hal-hal yang nggak ada hubungannya sama bisnis inti. Misalnya, dia beli jet pribadi dan properti mewah buat keperluan pribadi, sementara perusahaan terus rugi.
Budaya kerja di WeWork juga nggak sehat. Neumann menciptakan lingkungan yang terlalu fokus sama pertumbuhan, sampai-sampai banyak karyawan yang kerja di bawah tekanan besar. Beberapa mantan karyawan bahkan bilang, WeWork lebih mirip sekte daripada perusahaan. Neumann dianggap seperti “pemimpin spiritual” yang bawa misi besar, tapi dengan cara yang nggak selalu rasional.
Puncak dari semua kekacauan ini terjadi di tahun 2019, waktu WeWork mau IPO. Biasanya, IPO itu jadi ajang buat startup nunjukin betapa solidnya bisnis mereka. Tapi waktu dokumen IPO WeWork dirilis, semua keburukan mereka jadi kelihatan. Investor akhirnya sadar kalau WeWork sebenarnya nggak sekuat itu. Mereka rugi besar, model bisnisnya lemah, dan Neumann dianggap terlalu banyak drama. Valuasi yang tadinya 47 miliar dolar langsung anjlok jadi 8 miliar dolar. IPO-nya pun gagal total, dan Adam Neumann dipaksa mundur dari posisinya sebagai CEO.
Tapi masalah WeWork nggak berhenti di situ. Mereka udah terlanjur punya kontrak sewa jangka panjang yang jumlahnya fantastis. Total komitmen sewanya mencapai 47 miliar dolar, sementara pemasukan mereka nggak cukup buat nutup itu semua. Situasi makin buruk waktu pandemi COVID-19 melanda. Dengan banyak orang kerja dari rumah, permintaan terhadap coworking space turun drastis. WeWork yang sebelumnya udah rapuh, akhirnya benar-benar terpuruk.
Kalau kita lihat lebih dalam, keruntuhan WeWork ini sebenarnya udah diprediksi sejak lama. Masalahnya ada di model bisnis mereka yang dari awal nggak sustainable. Intinya, mereka cuma perusahaan real estate yang dibungkus dengan narasi teknologi. Tapi, beda sama perusahaan real estate tradisional yang biasanya lebih hati-hati, WeWork terlalu ambisius. Mereka terus berekspansi tanpa mikir panjang, padahal bisnis ini rentan banget sama fluktuasi ekonomi.
Masalah lain adalah ekspektasi yang terlalu tinggi dari para investor. Mereka terbuai sama hype tanpa benar-benar ngecek apakah bisnis ini masuk akal. SoftBank, misalnya, terus nge-push WeWork buat tumbuh lebih cepat, tanpa memikirkan risiko di baliknya. Akibatnya, WeWork malah jadi simbol dari kegagalan “growth at all costs,” di mana pertumbuhan jadi segalanya, sementara fundamental bisnis diabaikan.
Buat dunia startup, cerita WeWork ini jadi pelajaran besar. Banyak orang sekarang mulai lebih skeptis sama valuasi tinggi dan hype berlebihan. Investor nggak lagi cuma ngeliat pertumbuhan, tapi juga mulai nanya soal profitabilitas dan keberlanjutan model bisnis. Dan ini hal yang bagus. Karena pada akhirnya, startup itu harus bisa berdiri sendiri, bukan cuma hidup dari suntikan dana investor.
Tapi, meskipun WeWork gagal, ide coworking space itu sendiri sebenarnya masih relevan. Di era pasca-pandemi, banyak perusahaan yang mulai adopsi model kerja hybrid. Mereka butuh ruang kerja fleksibel, dan ini bisa jadi peluang besar buat perusahaan coworking space yang lain. Jadi, kegagalan WeWork bukan berarti konsepnya jelek, tapi lebih soal cara mereka ngejalanin bisnis yang nggak realistis.
Sekarang, WeWork mungkin udah nggak jadi unicorn yang bersinar. Tapi kisah mereka tetap menarik untuk dibahas. Ini jadi pengingat bahwa hype dan karisma aja nggak cukup buat bikin perusahaan sukses. Fundamental bisnis tetap jadi hal yang paling penting. Karena tanpa itu, bahkan startup sebesar WeWork pun bisa runtuh. Jadi, kalau kamu lagi bangun bisnis, belajar dari WeWork adalah langkah yang bijak. Fokus sama inti bisnis, jangan cuma kejar pertumbuhan, dan pastikan kamu punya pondasi yang kuat sebelum bermimpi terlalu tinggi.