
Ngomongin soal perubahan iklim, teknologi carbon capture lagi jadi topik panas di mana-mana, terutama di negara-negara maju. Teknologi ini disebut-sebut sebagai salah satu senjata ampuh buat ngatasi emisi karbon yang jadi biang keladi pemanasan global. Tapi pertanyaannya, seberapa serius sebenarnya negara maju dalam menjalankan carbon capture ini? Apakah mereka benar-benar peduli sama lingkungan, atau ini cuma strategi buat jaga kepentingan ekonomi dan politik mereka? Yuk, kita bahas lebih dalam.
Carbon capture sendiri adalah teknologi yang dirancang buat menangkap karbon dioksida (CO₂) dari atmosfer atau langsung dari sumber emisi kayak pabrik atau pembangkit listrik. Setelah karbonnya ditangkap, biasanya disimpan di bawah tanah atau diolah lagi jadi produk lain kayak bahan bakar sintetis atau beton. Di atas kertas, teknologi ini kedengerannya ideal banget. Negara maju bisa tetap ngejalanin industrinya tanpa nambah-nambahin polusi, sambil tetap kelihatan “hijau.”
Tapi, kalau dilihat lebih dekat, ada alasan yang jauh lebih strategis kenapa negara maju getol banget ngepush teknologi ini. Salah satunya adalah soal dominasi teknologi global. Siapa yang lebih dulu menguasai teknologi carbon capture, bakal punya posisi kuat di pasar internasional. Carbon capture nggak cuma soal lingkungan, tapi juga soal bisnis besar. Ada pasar baru yang lagi berkembang, mulai dari perdagangan karbon, teknologi penyimpanan, sampai inovasi berbasis karbon. Negara-negara kayak Amerika Serikat, Kanada, dan Norwegia paham banget soal ini, makanya mereka mau jadi yang terdepan.
Di sisi lain, carbon capture ini juga jadi semacam jawaban atas tekanan domestik. Negara maju sering dapat tekanan dari masyarakat mereka sendiri buat lebih serius ngatasi perubahan iklim. Contohnya, Uni Eropa yang udah bikin target net-zero emission pada 2050. Tapi, mereka juga sadar nggak mungkin ninggalin industri berat begitu aja, karena itu bakal berdampak buruk buat ekonomi mereka. Carbon capture jadi solusi kompromi: mereka bisa tetap ngejalanin industri, tapi dengan tambahan “tanggung jawab lingkungan” lewat teknologi ini.
Selain itu, carbon capture juga punya dimensi politik yang nggak bisa diabaikan. Negara maju sering banget ngejual teknologi ini ke negara berkembang. Narasinya sih bagus, “Kita bantu kalian implementasi teknologi buat ngurangi emisi.” Tapi kalau dilihat dari sudut pandang lain, ini juga cara mereka buat ningkatin pengaruh di level global. Negara berkembang jadi tergantung sama teknologi dan pendanaan dari negara maju, yang ujung-ujungnya bikin mereka tetap pegang kendali.
Namun, nggak semua cerita soal carbon capture ini positif. Banyak kritik yang bilang bahwa teknologi ini sebenarnya cuma jadi alasan buat negara maju tetap nyaman dengan bahan bakar fosil. Mereka bilang teknologi ini menangkap karbon, tapi nggak benar-benar ngurangin ketergantungan terhadap minyak dan gas bumi. Jadi, carbon capture lebih kayak “perban” sementara daripada solusi permanen.
Negara berkembang juga punya dilema sendiri soal ini. Di satu sisi, teknologi carbon capture terlihat menjanjikan. Mereka bisa manfaatin potensi sumber daya alam mereka, kayak hutan atau lahan gambut, buat mendukung perdagangan karbon. Tapi di sisi lain, biaya buat implementasi teknologi ini nggak kecil. Infrastruktur, riset, dan kebijakan pendukung semuanya butuh investasi besar. Kalau nggak hati-hati, negara berkembang malah bisa terjebak dalam utang atau jadi korban eksploitasi.
Lalu, kenapa teknologi ini belum terlalu meluas, meskipun banyak yang bilang ini solusi masa depan? Salah satu alasannya adalah biaya. Carbon capture itu mahal, baik dari segi pembangunan fasilitas sampai operasionalnya. Misalnya, teknologi Direct Air Capture (DAC), yang bisa langsung menangkap karbon dari udara, biayanya bisa mencapai ratusan dolar per ton karbon. Jadi, meskipun potensinya besar, nggak semua negara atau perusahaan mau ngeluarin uang sebanyak itu.
Masalah lainnya adalah infrastruktur. Teknologi ini butuh tempat penyimpanan karbon yang aman dan tahan lama, biasanya di formasi geologi bawah tanah. Tapi nggak semua negara punya kondisi geologi yang cocok buat ini. Kalau pun ada, prosesnya tetap ribet dan butuh pengawasan ekstra buat memastikan nggak ada kebocoran karbon yang malah bisa merusak lingkungan.
Lalu, ada juga tantangan dari sisi regulasi dan transparansi. Di beberapa negara, belum ada aturan yang jelas soal bagaimana teknologi ini harus diimplementasikan. Tanpa regulasi yang ketat, ada risiko bahwa teknologi ini bisa disalahgunakan atau malah bikin masalah baru, kayak korupsi atau penyalahgunaan dana perdagangan karbon.
Di tengah semua itu, ada negara-negara maju yang memang serius berinvestasi di teknologi ini. Amerika Serikat, misalnya, ngeluarin undang-undang Inflation Reduction Act yang ngasih subsidi besar buat proyek carbon capture. Kanada juga punya proyek besar kayak Quest CCS Facility, yang udah berhasil nangkep jutaan ton karbon. Norwegia nggak ketinggalan, dengan proyek ambisius mereka di Laut Utara yang disebut Northern Lights.
Tapi tetap aja, langkah mereka ini sering dipertanyakan. Apakah ini benar-benar soal lingkungan, atau cuma strategi buat tetap ngejalanin bisnis seperti biasa? Apalagi, negara-negara ini tetap eksplorasi minyak dan gas besar-besaran sambil ngomongin soal keberlanjutan. Jadi, ada semacam kontradiksi di sini.
Buat negara berkembang, penting banget buat nggak cuma ikut-ikutan tren. Mereka harus paham bahwa carbon capture ini punya potensi besar, tapi juga risiko yang nggak kalah besar. Jangan sampai mereka jadi sekadar pion dalam permainan geopolitik negara maju. Kalau mau adopsi teknologi ini, negara berkembang harus memastikan ada keseimbangan antara manfaat ekonomi, lingkungan, dan sosial.
Kesimpulannya, carbon capture memang teknologi yang menjanjikan, tapi implementasinya nggak bisa cuma jadi basa-basi. Kalau benar-benar serius, negara maju harus tunjukin komitmen yang tulus, bukan cuma strategi buat mempertahankan posisi mereka. Dan buat negara berkembang, mereka harus hati-hati, jangan sampai terjebak dalam narasi “hijau” yang sebenarnya lebih menguntungkan pihak lain. Kalau semua pihak kerja sama dengan niat yang baik, carbon capture bisa jadi langkah besar buat masa depan yang lebih hijau. Tapi kalau nggak, ini cuma akan jadi strategi lain yang penuh kepentingan tersembunyi.