
Di tengah transisi besar-besaran dunia menuju kendaraan listrik atau electric vehicles (EV), China tampil sebagai pemain dominan yang menguasai panggung global. Dengan kecepatan inovasi, subsidi besar-besaran, dan strategi pasar yang agresif, negara ini berhasil menjadikan dirinya pusat dari revolusi EV dunia. Sementara itu, Barat—termasuk Eropa dan Amerika Serikat—mulai merasa terancam. Kenapa? Karena mereka bukan cuma kalah cepat, tapi juga kalah strategis.
Baru-baru ini, data dari berbagai sumber menunjukkan seberapa besar pengaruh China di sektor ini. Pada kuartal ketiga tahun 2024, China menguasai 60% dari total pasar EV global. Angka ini didorong oleh kebijakan proaktif pemerintah yang mendukung penuh pengembangan EV. Sejak 2009, pemerintah China telah menyuntikkan subsidi sebesar $231 miliar ke sektor ini, menciptakan lingkungan yang sangat mendukung pertumbuhan. Kombinasi dari subsidi, inovasi teknologi, dan kapasitas produksi besar-besaran menjadikan China tak tertandingi dalam skala global.
Tapi bukan cuma di dalam negeri saja. Ekspansi global China juga semakin agresif. BYD, produsen EV terbesar di dunia, telah melampaui Tesla dengan pangsa pasar global sebesar 18% pada 2023. BYD bahkan mengekspor produknya ke lebih dari 50 negara, termasuk pasar-pasar strategis seperti Eropa dan Amerika Selatan. NIO dan Xpeng juga mulai mencuri perhatian dengan teknologi canggih dan model bisnis yang adaptif. Mereka nggak cuma menjual mobil, tapi juga layanan seperti battery swapping, yang membuat konsumen semakin tertarik.
Namun, ekspansi ini membawa tantangan baru. Negara-negara Barat merasa bahwa dominasi China di pasar EV bukan hanya soal kompetisi bisnis, tapi juga soal kedaulatan teknologi. Di Amerika Serikat, misalnya, tarif impor untuk EV buatan China bisa mencapai 100%. Uni Eropa juga memberlakukan tarif hingga 45% untuk melindungi produsen lokal dari gempuran harga murah produk China. Tapi apakah ini cukup? Kenyataannya, meskipun ada tarif tinggi, EV China tetap masuk dan berhasil mencuri perhatian konsumen.
Yang bikin Barat makin panik adalah ketergantungan mereka pada rantai pasok baterai yang dikuasai China. Data menunjukkan bahwa China memproduksi lebih dari 70% baterai EV dunia, dan mereka juga menguasai pengolahan bahan baku utama seperti lithium, nikel, dan kobalt. Ini berarti, produsen otomotif Barat hampir tidak mungkin memproduksi EV tanpa melibatkan China di rantai pasok mereka. Ketergantungan ini menciptakan kerentanan strategis, apalagi di tengah situasi geopolitik yang tidak stabil.
Di sisi lain, penjualan EV di Barat juga menunjukkan tren yang menarik. Di Amerika Serikat, kuartal ketiga 2024 mencatat rekor baru dengan 346.309 unit EV terjual, mewakili 8,9% dari total penjualan mobil. Tesla masih memimpin, tapi General Motors dan Ford menunjukkan pertumbuhan signifikan, terutama berkat model seperti Chevy Equinox EV dan F-150 Lightning. Sementara itu, di Eropa, pasar EV terus tumbuh pesat. Inggris mencatatkan pangsa pasar EV sebesar 20%, sementara lima pasar terbesar di Eropa mencapai 56% dari total registrasi kendaraan baru.
Namun, meskipun penjualan EV di Barat meningkat, mereka tetap tertinggal jauh dibandingkan China. Masalah utamanya adalah skala dan efisiensi produksi. Produsen China mampu memproduksi EV dengan biaya jauh lebih rendah, berkat subsidi pemerintah dan skala ekonomi yang besar. Sebagai perbandingan, harga EV buatan China bisa 20-30% lebih murah dibandingkan produk serupa dari Barat. Ini memberi mereka keunggulan besar, terutama di pasar dengan sensitivitas harga tinggi.
Tantangan bagi Barat bukan hanya soal harga, tapi juga inovasi teknologi. Produsen China seperti CATL telah memimpin dalam pengembangan baterai solid-state, yang lebih efisien dan murah dibandingkan teknologi baterai konvensional. Sementara itu, Barat masih bergulat dengan riset dan pengembangan yang memakan waktu dan biaya besar. Di sisi lain, produsen EV China sudah meluncurkan teknologi ini ke pasar, memberi mereka keunggulan kompetitif tambahan.
Yang menarik, China juga berhasil memanfaatkan momentum transisi energi global. Dengan mendominasi sektor EV, mereka mendapatkan posisi strategis dalam negosiasi perubahan iklim. Mereka bisa mengklaim diri sebagai pemimpin dalam transisi energi bersih, sementara Barat masih sibuk mengejar ketertinggalan. Ini bukan cuma soal bisnis, tapi juga geopolitik.
Tapi, bukan berarti Barat tidak melakukan apa-apa. Di Amerika Serikat, misalnya, pemerintah telah memperkenalkan Inflation Reduction Act, yang memberikan subsidi besar-besaran untuk produksi EV lokal. Uni Eropa juga meningkatkan investasi dalam rantai pasok lokal, termasuk membangun pabrik baterai di beberapa negara. Namun, semua ini membutuhkan waktu. Sementara Barat masih membangun fondasi, China sudah melangkah jauh di depan.
Bagi konsumen, persaingan ini membawa kabar baik. Dengan lebih banyak pilihan dan harga yang semakin kompetitif, adopsi EV semakin mudah. Tapi bagi industri otomotif Barat, ini adalah pertempuran yang akan menentukan masa depan mereka. Jika mereka gagal bersaing, dampaknya bisa berupa pengangguran massal, penutupan pabrik, dan kehilangan dominasi di pasar global.
Pada akhirnya, persaingan ini adalah tentang siapa yang bisa beradaptasi lebih cepat. China telah menunjukkan bahwa mereka tidak hanya siap bersaing, tapi juga mendominasi. Barat, sementara itu, masih punya peluang untuk mengejar, tapi mereka harus bergerak lebih cepat. Dunia sedang berubah, dan siapa yang memimpin transisi ini akan menentukan masa depan industri otomotif global. Untuk sekarang, China memegang kendali, tapi permainan ini masih jauh dari selesai.