
Di dunia yang serba cepat ini, kita sering melihat fenomena di mana orang-orang dengan percaya diri menyampaikan sesuatu yang mereka yakini benar, padahal kenyataannya jauh dari fakta. Lebih parahnya lagi, kebodohan ini sering kali memantik kebohongan yang akhirnya menyebar luas dan dipercaya banyak orang. Ini bukan cuma soal orang asal ngomong, tapi ada pola yang terus berulang di mana semakin seseorang nggak paham suatu hal, semakin besar kemungkinan dia menyebarkan informasi yang salah.
Kita semua pasti pernah melihat seseorang berbicara dengan penuh keyakinan tentang sesuatu yang sebenarnya nggak dia pahami. Entah itu di media sosial, obrolan warung kopi, atau bahkan di dunia profesional. Ada orang yang sok tahu tentang ekonomi padahal nggak pernah baca laporan keuangan, ada yang yakin banget vaksin itu konspirasi padahal dia bahkan nggak paham dasar biologi, atau ada juga yang berani mengkritik kebijakan pemerintah tanpa pernah membaca aturan yang sebenarnya. Keyakinan ini nggak datang dari pengetahuan, tapi justru dari kurangnya pemahaman yang ironisnya membuat mereka merasa lebih tahu dibanding yang sebenarnya ahli di bidangnya.
Fenomena ini sebenarnya ada penjelasan ilmiahnya. Ini yang disebut dengan efek Dunning-Kruger. Efek ini menjelaskan bahwa orang yang kurang kompeten dalam suatu bidang cenderung melebih-lebihkan kemampuan mereka sendiri. Mereka nggak sadar seberapa banyak yang mereka nggak tahu, sehingga mereka merasa seolah-olah mereka lebih pintar dari yang sebenarnya. Sementara itu, orang yang benar-benar ahli justru sering kali meragukan dirinya sendiri karena mereka tahu betapa luasnya ilmu yang belum mereka kuasai.
Kebodohan yang nggak disadari ini sering kali berujung pada penyebaran kebohongan. Orang-orang yang nggak punya cukup informasi cenderung mengisi kekosongan dengan opini pribadi, asumsi, atau bahkan informasi yang salah. Ketika mereka menyebarkan informasi ini dengan percaya diri, orang lain yang kurang kritis bisa dengan mudah ikut percaya. Kebohongan kecil pun akhirnya berkembang menjadi kebenaran versi mereka sendiri.
Media sosial mempercepat proses ini dengan luar biasa. Dulu, informasi palsu atau pemahaman yang dangkal hanya menyebar dalam lingkup kecil, seperti obrolan di warung kopi atau dalam grup kecil. Tapi sekarang, siapa pun bisa menyebarkan opini mereka ke ribuan, bahkan jutaan orang dalam hitungan detik. Yang lebih parah, algoritma media sosial justru memperkuat fenomena ini dengan memprioritaskan konten yang menarik banyak interaksi, bukan yang paling akurat.
Kebodohan yang dipadu dengan kepercayaan diri tinggi ini sering kali juga menciptakan tren informasi yang misleading. Misalnya, ketika seseorang salah paham tentang suatu konsep dan menyampaikannya dengan gaya yang meyakinkan, orang-orang yang mendengarnya mungkin langsung percaya tanpa mengecek kebenarannya. Dalam hitungan jam, informasi yang salah ini bisa menyebar luas dan dianggap sebagai fakta, padahal dasarnya sama sekali nggak kuat.
Ada contoh menarik dari sejarah yang menunjukkan bagaimana kebodohan bisa menciptakan kebohongan yang akhirnya dipercaya oleh banyak orang. Salah satunya adalah mitos bahwa manusia hanya menggunakan 10% dari otaknya. Ini adalah salah satu kebohongan yang bertahan lama dan dipercaya banyak orang, padahal nggak ada bukti ilmiah yang mendukungnya. Ilmuwan dan dokter syaraf sudah berkali-kali menjelaskan bahwa kita menggunakan hampir seluruh bagian otak kita setiap hari, hanya saja dalam fungsi yang berbeda-beda. Tapi karena gagasan ini terdengar keren dan sering diulang di berbagai media, orang-orang jadi percaya begitu saja.
Di dunia bisnis dan politik, kebodohan yang berubah menjadi kebohongan ini juga sering terjadi. Misalnya, ada banyak pemimpin yang membuat keputusan berdasarkan asumsi atau pemahaman yang salah, lalu menyebarkan narasi yang menyesatkan ke publik. Kadang-kadang ini dilakukan dengan sengaja, tapi banyak juga yang terjadi karena mereka benar-benar percaya pada informasi yang salah tersebut. Akibatnya, kebijakan yang diambil bisa berbahaya dan merugikan banyak orang.
Di sisi lain, kebohongan yang muncul dari kebodohan ini sering kali bertahan lebih lama daripada kebenaran. Ada pepatah yang bilang, “Kebohongan bisa berkeliling dunia sebelum kebenaran sempat memakai sepatunya.” Ini terjadi karena informasi yang salah sering kali lebih menarik dan lebih gampang dicerna daripada fakta yang kompleks. Orang lebih suka mendengar sesuatu yang sederhana dan dramatis daripada harus memahami sesuatu yang rumit dan penuh nuansa.
Tapi kenapa kebodohan bisa begitu berbahaya? Karena semakin seseorang yakin pada sesuatu yang salah, semakin sulit untuk mengubah pikirannya. Ini disebut dengan efek bias konfirmasi—orang cenderung mencari informasi yang mendukung apa yang sudah mereka percayai, dan menolak informasi yang bertentangan dengan keyakinan mereka. Ini sebabnya banyak orang yang tetap percaya teori konspirasi meskipun sudah ada bukti yang membantahnya. Mereka lebih memilih informasi yang memperkuat pandangan mereka daripada menerima kenyataan yang sebenarnya.
Salah satu cara untuk melawan fenomena ini adalah dengan meningkatkan kesadaran kritis. Kita harus mulai lebih skeptis terhadap informasi yang kita terima, terutama yang berasal dari sumber yang nggak jelas. Jangan mudah percaya hanya karena sesuatu terdengar masuk akal atau karena banyak orang yang membicarakannya. Sebaliknya, biasakan untuk mengecek kebenaran informasi sebelum menyebarkannya ke orang lain.
Pendidikan juga memainkan peran penting dalam mengurangi dampak dari kebodohan yang memantik kebohongan. Sayangnya, banyak sistem pendidikan yang masih menekankan pada hafalan daripada pemahaman kritis. Akibatnya, banyak orang tumbuh dengan kebiasaan menerima informasi tanpa mempertanyakan atau menganalisisnya lebih dalam. Jika kita ingin mengurangi penyebaran informasi yang salah, kita harus mulai membiasakan diri untuk berpikir kritis sejak dini.
Selain itu, penting juga buat kita buat lebih rendah hati dalam menghadapi sesuatu yang kita belum pahami sepenuhnya. Alih-alih langsung berasumsi dan menyebarkan opini yang belum tentu benar, lebih baik kita luangkan waktu buat belajar dan mencari tahu lebih dalam. Dunia ini terlalu kompleks buat kita merasa bahwa kita sudah tahu segalanya.
Di akhir hari, kebodohan dan kebohongan sering kali berjalan beriringan, dan keduanya bisa menyebar dengan cepat kalau nggak dikendalikan. Kita nggak bisa menghapus kebodohan sepenuhnya, tapi kita bisa mengurangi dampaknya dengan terus belajar, berpikir kritis, dan berani mengakui kalau kita nggak tahu sesuatu. Karena pada akhirnya, kesadaran bahwa kita masih banyak nggak tahu adalah langkah pertama menuju kebijaksanaan.