Mental Model Yang Wajib Dimiliki Pengusaha

Dalam dunia bisnis yang cepat banget berubah, cara kita mikir bisa jadi pembeda paling penting antara mereka yang bisa bertahan dan mereka yang tumbang di tengah jalan. Bukan cuma soal siapa yang punya modal lebih gede atau tim yang lebih banyak, tapi siapa yang punya cara berpikir yang lebih matang. Nah, di sinilah pentingnya mental model. Ibaratnya, mental model itu adalah peta yang bantu kita navigasi di dunia bisnis yang penuh tikungan tajam, jalan buntu, dan jebakan yang nggak kelihatan di awal.

Kita kadang terlalu sibuk ngumpulin tools, strategi baru, atau tren yang lagi rame. Tapi tanpa kerangka berpikir yang kuat, semua tools itu bisa jadi sia-sia. Kita bisa salah arah, buang-buang energi, atau malah bikin keputusan yang bikin kita nyesel belakangan. Mental model itu penting banget karena dia ngebantu kita ngambil keputusan secara lebih logis, lebih jernih, dan lebih dalam. Bukan cuma berdasarkan insting sesaat atau ikut-ikutan.

Salah satu mental model yang paling dasar tapi sering dilupain adalah first principles thinking. Ini cara mikir yang ngajak kita buat nggak cuma ngikutin apa yang biasa dilakukan orang, tapi mulai dari pertanyaan paling mendasar: kenapa hal ini terjadi? Kenapa sistem ini dibentuk kayak gini? Apa komponen paling basic dari masalah yang kita hadapi? Dengan cara mikir kayak gini, kita nggak gampang termakan asumsi. Kita jadi bisa ngeliat peluang yang mungkin nggak kelihatan buat orang lain.

Contoh nyatanya bisa kita lihat dari Patrick dan John Collison, pendiri Stripe. Di saat semua orang bilang bikin sistem pembayaran itu ribet dan butuh lisensi bank, mereka nggak nerima itu mentah-mentah. Mereka balik tanya: kenapa sih developer susah banget integrasi pembayaran ke website mereka? Mereka nemuin masalah dasarnya ada di pengalaman teknis yang ribet banget. Maka dari itu, mereka bangun Stripe dengan satu tujuan utama: bikin pengalaman developer semudah mungkin. Dan hasilnya, Stripe sekarang jadi salah satu startup paling valuable di dunia.

Model lain yang juga penting banget buat pengusaha adalah inversion. Cara mikirnya kebalik: kita jangan cuma mikir gimana cara sukses, tapi mikir juga gimana cara gagal. Terus kita hindari semua yang bisa bikin kita gagal itu. Ini kelihatannya sederhana, tapi sering banget dilupain. Misalnya, waktu kita mau launching produk, biasanya fokus kita adalah fitur-fitur keren yang bikin produk kita beda. Tapi jarang yang duduk dan nanya: “Apa aja sih hal-hal yang bisa bikin produk ini flop?” Dari pertanyaan itu, biasanya muncul insight yang lebih berharga: ternyata market-nya belum siap, atau ternyata pesan yang mau disampaikan nggak nyampe ke audience.

Indra Nooyi, mantan CEO PepsiCo, juga pakai cara mikir ini waktu dia memutuskan buat ngarahin perusahaan ke arah yang lebih sehat. Waktu itu semua orang masih mikir Pepsi itu ya soda manis. Tapi dia balik tanya: “Kalau kita terus jualan minuman gula, apa yang bakal bikin kita kehilangan pasar?” Jawabannya: perubahan gaya hidup dan persepsi konsumen terhadap kesehatan. Dari situ dia bikin strategi jangka panjang, bukan cuma buat bikin Pepsi tetap relevan, tapi juga buat ngebawa perusahaan ke arah yang lebih sustain.

Selain inversion, ada juga second-order thinking, yang ngajarin kita buat nggak cuma mikir efek langsung dari sebuah keputusan, tapi juga mikir efek selanjutnya. Banyak orang terlalu fokus ke “kalau gue ambil keputusan ini, besok apa yang terjadi?” Tapi jarang yang mikir, “dua bulan lagi, setahun lagi, lima tahun lagi, efeknya apa ya?” Padahal, bisnis itu maraton, bukan sprint. Dan banyak keputusan yang kelihatannya oke sekarang, ternyata jadi bumerang dalam jangka panjang.

Kita ambil contoh dari Gojek. Di awal-awal, mereka nggak cuma mikir, “gimana caranya bikin ojek online jalan?” Tapi mereka mikir, “kalau kita punya banyak user yang rutin pakai layanan kita, apa layanan lain yang bisa kita sematkan di ekosistem ini?” Dari situ muncul GoFood, GoSend, GoPay, dan seterusnya. Itu semua muncul karena mereka mikir lebih dari satu langkah ke depan. Nggak heran kalau akhirnya mereka jadi salah satu superapp paling sukses di Asia Tenggara.

Lanjut ke probabilistic thinking. Ini adalah cara mikir berdasarkan kemungkinan, bukan kepastian. Kita sering banget mikir, “kalau gue ambil opsi ini, pasti berhasil.” Padahal, dalam bisnis, yang pasti cuma satu: ketidakpastian. Kita harus terbiasa mikir pakai skenario. “Kalau gue launch produk ini, kemungkinan berhasilnya 60%, kemungkinan break even-nya 30%, dan kemungkinan gagal total 10%.” Dari situ kita bisa hitung risiko dengan lebih bijak. Bukan berarti kita nggak berani ambil langkah, tapi kita jadi lebih siap dengan segala kemungkinan.

Di Stripe, Patrick Collison juga ngelakuin hal ini waktu mereka mau ekspansi ke luar negeri. Mereka nggak langsung gas ke semua pasar. Mereka lihat data, regulasi, infrastruktur, dan kebutuhan lokal. Lalu mereka bikin simulasi: negara mana yang paling siap diserbu duluan. Hasilnya, ekspansi mereka lebih terukur dan sustain, bukan coba-coba asal masuk yang justru bikin rugi besar.

Masih banyak mental model lain yang penting buat kita pahami. Seperti circle of competence, yang ngajarin kita buat tahu batasan kita. Kita nggak harus bisa semuanya. Justru kalau kita sadar bidang mana yang kita kuasai, kita bisa fokus di situ dan minta bantuan di area yang kita belum kuat. Banyak pengusaha yang jatuh karena merasa “harus bisa semua”. Padahal, lebih penting buat tahu mana yang bisa kita handle dan mana yang harus kita delegasikan.

Lalu ada juga confirmation bias, di mana kita cuma nyari informasi yang cocok sama apa yang kita udah percaya. Ini bahaya banget, apalagi buat founder yang terlalu cinta sama idenya sendiri. Kita harus bisa buka mata buat kritik, buat data yang nunjukin kita salah. Karena dari situlah kita tumbuh.

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.