
Awal mula selalu jadi bagian yang paling seru. Di sana biasanya semangat lagi tinggi-tingginya, ide masih bertebaran, mimpi masih besar, dan semuanya masih terasa mungkin. Para founder sibuk bikin logo, susun pitch deck, nyari nama yang catchy, dan bikin plan besar-besaran buat jadi unicorn. Tapi begitu semua itu dijalanin, ketika ide mulai harus diwujudkan, dan kenyataan mulai ngasih perlawanan, pelan-pelan energi itu menurun. Yang dulu semangat banget ngerjain sampe tengah malam, mulai ngerasa berat bahkan buat buka laptop. Yang dulu bikin strategi marketing segila-gilanya, sekarang mulai bingung mau update apa. Dan akhirnya, banyak yang nyerah. Bukan karena idenya jelek, tapi karena capek.
Banyak banget founder yang jago di awal. Mereka bisa bikin semua orang excited, bisa ngumpulin tim, bisa dapet perhatian. Tapi mereka kehabisan bensin di tengah jalan. Karena ternyata ngebangun bisnis bukan sprint, tapi maraton. Dan di maraton itu, yang dibutuhin bukan kecepatan di awal, tapi konsistensi buat terus jalan meski capek, meski nggak ada yang tepuk tangan, meski hasilnya belum kelihatan.
Salah satu penyebab founder banyak yang tumbang di tengah jalan adalah ekspektasi yang nggak realistis. Di awal mereka kebanyakan kebayang dunia startup yang glamor: funding besar, growth cepet, brand terkenal. Tapi begitu masuk ke dunia nyatanya, mereka baru sadar ternyata ngurus logistik ribet, customer bisa rewel, tim nggak selalu sevisi, dan kompetitor jalan lebih cepat. Kaget. Mental down. Karena realita nggak sesuai harapan. Padahal, bisnis yang jalan itu justru yang dari awal sadar bahwa yang mereka hadapi nanti itu rumit dan panjang.
Banyak juga yang ngerasa “gue bukan orangnya ternyata.” Dulu pas awal mulai ngerasa ini panggilan jiwa, tapi ternyata begitu bisnis harus jalan, ada banyak hal yang bikin frustrasi. Urusan administratif, urusan pajak, urusan tim yang keluar masuk, urusan komplain pelanggan yang nggak ada habisnya. Dan karena dulu mereka terlalu fokus ke mimpi dan bukan sistem, mereka nggak siap ketika harus mikirin hal teknis yang repetitif tapi penting banget buat jaga bisnis tetap hidup.
Masalah lain yang sering muncul adalah kesepian. Jadi founder itu bisa jadi pekerjaan paling sepi di dunia. Kita harus selalu terlihat yakin padahal dalam hati goyah. Kita harus kasih motivasi ke tim padahal kita sendiri lagi nggak punya jawaban. Kita harus berani ambil keputusan meskipun banyak yang kita nggak tahu. Dan kalau kita nggak punya tempat buat curhat, buat ngeluarin unek-unek, itu bisa numpuk jadi tekanan yang berbahaya. Nggak heran kalau banyak founder yang burnout bahkan sebelum bisnisnya bener-bener jalan.
Ada juga yang stuck karena nggak tahu prioritas. Di awal semua kelihatan penting. Mau ngembangin produk, mau bikin konten, mau urus partnership, mau cari investor. Tapi karena semuanya dikerjain bareng-bareng tanpa arah yang jelas, nggak ada yang bener-bener kelar. Semuanya nanggung. Dan akhirnya progress jalan pelan banget, motivasi turun, dan rasa gagal mulai datang. Padahal bisa aja bisnis itu berhasil kalau satu hal difokusin dulu dan dijalanin sampai tuntas.
Kadang masalahnya juga ada di ego. Banyak founder yang nggak mau adaptasi. Merasa idenya paling bener. Nggak mau dengerin feedback pasar. Nggak mau nerima kenyataan kalau produk mereka belum cocok. Jadi ketika market menolak, mereka bukannya putar arah, tapi malah terus maksa. Nggak sedikit yang akhirnya kehabisan tenaga dan duit buat maksa hal yang ternyata nggak punya demand. Dan waktu sadar, semuanya udah terlambat.
Gagal lanjut juga sering terjadi karena masalah internal tim. Di awal semua happy karena satu visi. Tapi makin jalan, peran makin banyak, beban makin berat, dan uang mulai jadi pembeda. Yang awalnya teman, bisa jadi konflik. Yang awalnya punya mimpi sama, bisa jadi punya cara yang beda. Dan kalau nggak diatur dari awal secara struktur, konflik kecil bisa jadi besar. Dan ketika co-founder udah nggak satu frekuensi, bisnis biasanya tinggal nunggu waktu buat goyang.
Faktor lainnya adalah keuangan. Banyak yang habis-habisan di awal buat branding, buat bikin produk, buat promosi. Tapi lupa kalau cash itu kayak oksigen. Tanpa cash, kita bisa punya produk bagus tapi nggak bisa kirim. Bisa punya tim keren tapi nggak bisa gaji. Dan kalau keuangan nggak direncanain dari awal, di tengah jalan kita akan kewalahan. Dan ketika uang habis, motivasi pun bisa ikut habis. Karena ternyata idealisme doang nggak cukup buat hidupin bisnis.
Gagal lanjut juga bisa terjadi karena kehabisan ide. Di awal semuanya segar. Tapi kalau kita nggak punya habit buat eksplorasi dan belajar, ide bisa mentok. Dan ketika udah mentok, kita kehilangan arah. Nggak tahu harus pivot atau scale. Nggak tahu harus tambah produk atau simplifikasi. Kita jadi terjebak di fase bingung, dan diem di tempat terlalu lama. Pelan-pelan energi tim menurun, market juga bergerak ke tempat lain. Dan akhirnya, kita ditinggal sendiri.
Hal lain yang sering kejadian adalah terlalu sibuk mikirin kompetitor. Setiap hari buka dashboard kompetitor, tiap minggu bandingin diri sendiri sama mereka. Yang muncul akhirnya bukan insight, tapi kecemasan. Kita ngerasa ketinggalan. Kita panik. Kita jadi reaktif. Semua strategi dibuat karena “mereka udah ngelakuin ini.” Bukan karena kita ngerti kenapa kita harus lakuin itu. Kita kehilangan kontrol atas arah kita sendiri. Dan di situ, bisnis kita bukan lagi tentang value, tapi tentang siapa yang duluan.
Tapi yang paling besar dan paling sering jadi penyebab gagalnya founder nerusin bisnisnya adalah kehilangan why. Di awal semua punya alasan. Tapi makin ke sini, banyak yang kehilangan koneksi sama alasan itu. Mereka terlalu sibuk ngejar angka, ngejar growth, ngejar validasi, sampai lupa kenapa dulu mulai. Dan ketika koneksi itu hilang, mereka nggak punya lagi bensin buat lanjut. Nggak punya motivasi buat bangun pagi dan ngadepin semua drama bisnis.
Makanya, penting banget buat selalu nyimpen alasan itu di tempat yang kita bisa lihat terus. Bisa dalam bentuk tulisan, video, quotes, atau bahkan cerita pelanggan. Karena itu yang bakal jadi kompas kita saat semuanya mulai berat. Itu yang bakal bikin kita tetap jalan ketika semua orang udah nyerah. Itu yang bakal bikin kita inget bahwa ini bukan soal seberapa cepat kita mulai, tapi seberapa jauh kita bisa bertahan.
Founder yang bisa lanjut dan sukses bukan karena mereka paling pintar. Tapi karena mereka paling sabar. Paling mau belajar. Paling bisa adaptasi. Paling jago bangkit dari jatuh. Mereka bukan orang yang nggak pernah gagal, tapi orang yang tetap jalan meski gagal berkali-kali. Dan mereka tahu bahwa bisnis itu bukan soal siapa yang paling cepat viral, tapi siapa yang bisa tetap konsisten ketika spotlight udah pindah ke tempat lain.
Jadi buat semua founder yang lagi ngerasa stuck, ngerasa kehilangan arah, atau ngerasa bisnisnya nggak kemana-mana, tarik nafas dulu. Liat lagi ke belakang. Udah sejauh apa kamu jalan. Udah sebanyak apa yang kamu pelajari. Dan coba tanya ke diri sendiri, “Masih relevan nggak alasan gue dulu mulai?” Kalau masih, berarti tinggal dipoles. Tinggal bangkitin semangat. Tinggal reset ulang strategi.
Tapi kalau udah nggak relevan, mungkin udah saatnya berhenti sejenak dan refleksi. Bukan berarti nyerah. Tapi mungkin kamu butuh nyari cara baru. Butuh pivot. Butuh ruang buat lihat semuanya dengan jernih. Karena kadang, yang bikin kita gagal lanjut bukan karena kita lemah. Tapi karena kita nggak pernah ngasih diri sendiri waktu buat beresin luka. Buat nutupin lelah.
Dan kalau kamu udah bisa lewatin semua itu, kamu bakal jadi founder yang bukan cuma jago mulai, tapi juga jago bertahan. Yang ngerti arah. Yang bisa memimpin. Yang ngerti bahwa bisnis itu bukan soal cepat, tapi soal kuat.