
Ketika kita lagi semangat-semangatnya mulai bisnis baru, ada dua pilihan besar yang pasti muncul dalam pikiran kita: bootstrapping atau fundraising. Bootstrapping berarti membangun bisnis dengan modal pribadi, tanpa campur tangan investor dari luar. Fundraising, di sisi lain, berarti cari investor, dapat suntikan dana besar, lalu mengembangkan bisnis dengan cepat lewat dana eksternal. Dua pendekatan ini punya plus-minusnya masing-masing. Nggak sedikit yang bingung, sebenarnya mana sih yang lebih baik? Mana yang paling cocok buat bisnis kita?
Bootstrapping sering dianggap sebagai jalan ideal buat yang nggak mau repot ngurus investor. Bisnis kita berjalan 100 persen dari uang pribadi, profit yang kita puter lagi ke bisnis, atau sesekali pinjem sedikit dari keluarga atau teman. Dengan cara ini, bisnis memang tumbuh pelan-pelan, tapi kendalinya full di tangan kita. Kita bebas tentuin arah bisnis, keputusan bisnis, sampai urusan strategi tanpa perlu persetujuan dari siapapun.
Sementara fundraising adalah pilihan yang lebih menggoda buat sebagian besar entrepreneur. Kita datang ke investor, tunjukin ide bisnis kita yang keren lewat pitch deck yang cakep, lalu dapetin dana besar yang langsung bisa dipakai buat ngebut di awal. Karyawan langsung direkrut, iklan besar-besaran, ekspansi market, pokoknya gaspol dari awal. Kalau berhasil dapat investor yang bagus, bisnis bisa langsung terbang tinggi dan bersaing di level nasional bahkan internasional dalam waktu relatif singkat.
Tapi sebelum buru-buru memilih antara bootstrapping atau fundraising, ada baiknya kita pahami dulu karakteristik masing-masing pilihan ini. Banyak bisnis yang jatuh ke lubang yang salah karena cuma ikut-ikutan tren tanpa sadar konsekuensi jangka panjangnya.
Bootstrapping, misalnya, memang terdengar sangat ideal buat founder yang ingin independen. Tapi kenyataannya, bootstrapping ini menuntut kita punya kesabaran dan disiplin yang ekstra tinggi. Karena nggak ada dana eksternal, kita harus pandai banget mengelola cashflow, tahu gimana caranya menekan biaya seminimal mungkin, dan benar-benar fokus ke profitabilitas sejak awal. Kita nggak punya ruang untuk terlalu banyak eksperimen yang menghabiskan banyak uang tanpa hasil yang jelas.
Di sisi positifnya, dengan bootstrapping, kita bisa menjaga bisnis tetap sederhana, efisien, dan terfokus pada pelanggan. Kita juga bebas banget dari tekanan investor yang biasanya menuntut pertumbuhan agresif. Bisnis kita tumbuh secara natural sesuai dengan permintaan pasar. Jadi, kita bisa lebih santai menentukan strategi tanpa pusing dikejar-kejar target pertumbuhan yang kadang nggak realistis.
Fundraising, di sisi lain, memberikan keuntungan besar dalam hal akselerasi bisnis. Kita dapat akses modal besar dengan cepat. Kita bisa rekrut tim yang solid, iklan agresif, bangun sistem operasional yang matang, dan bikin produk yang jauh lebih baik dalam waktu singkat. Tapi konsekuensi fundraising juga nggak main-main. Begitu kita dapat investasi, ada ekspektasi besar yang harus kita penuhi. Investor akan minta laporan rutin, transparansi penuh, serta pertumbuhan revenue dan user yang terus meningkat signifikan setiap bulannya.
Banyak founder terjebak karena nggak siap mental dengan tekanan ini. Apalagi jika bisnisnya masih tahap validasi pasar. Belum jelas produknya benar-benar dicari pelanggan atau nggak, tapi uang investor sudah terlanjur masuk. Akhirnya, kita dipaksa “bakar uang” secara terus-menerus hanya untuk menunjukkan angka pertumbuhan yang impresif buat investor. Hal kayak gini malah bikin bisnis rapuh di dalam, meski dari luar kelihatan keren.
Kelemahan terbesar fundraising biasanya terletak di hilangnya kontrol penuh atas bisnis kita. Begitu investor masuk, otomatis mereka punya suara dalam menentukan arah bisnis. Kadang, ini bisa bertentangan dengan visi asli founder. Banyak founder yang akhirnya merasa seperti karyawan di perusahaannya sendiri, karena nggak bisa ambil keputusan bebas seperti dulu waktu awal.
Nah, sekarang kita coba masuk lebih dalam lagi. Mana sih yang sebenarnya lebih cocok buat bisnis kita, bootstrapping atau fundraising?
Kalau bisnis kita termasuk jenis yang nggak butuh modal besar di awal, misalnya bisnis jasa seperti digital agency, konsultan, atau bisnis produk yang bisa dijual secara pre-order, bootstrapping jelas pilihan paling tepat. Kita bisa mulai dengan modal minimal, tes dulu apakah ada demand, baru kemudian scale up secara perlahan pakai profit dari bisnis tersebut. Ini lebih aman dan lebih sehat secara finansial.
Sebaliknya, kalau bisnis kita adalah jenis yang harus melakukan inovasi produk mahal di awal, seperti bisnis teknologi yang butuh development aplikasi atau infrastruktur mahal, maka fundraising bisa jadi pilihan yang masuk akal. Dengan dana investor, kita bisa langsung jalan tanpa harus khawatir uang habis di tengah jalan sebelum produk kita selesai dibuat. Tapi, tentu saja, pastikan produk kita memang memiliki potensi pasar yang jelas, sehingga uang investor nggak terbuang sia-sia.
Ada juga pilihan hybrid antara bootstrapping dan fundraising yang kadang jadi alternatif bagus buat sebagian bisnis. Kita mulai dulu secara bootstrap sampai bisnis kelihatan stabil dan produk sudah punya validasi pasar yang jelas. Setelah bisnis kelihatan sehat dan stabil, barulah kita cari investor. Dengan cara ini, kita punya bargaining position yang lebih baik di depan investor, karena bisnis kita udah ada traction jelas dan risiko sudah jauh lebih rendah.
Salah satu contoh sukses yang menarik untuk diambil pelajaran adalah MailChimp, perusahaan email marketing asal Amerika Serikat. MailChimp sukses besar tanpa investor sama sekali alias bootstrapping total. Mereka tumbuh pelan-pelan tapi konsisten, sampai akhirnya jadi salah satu perusahaan terbesar di industrinya. Kisah MailChimp membuktikan bahwa bootstrapping bukan cuma teori, tapi benar-benar bisa sukses besar.
Sebaliknya, ada juga startup yang berhasil sukses besar setelah fundraising, seperti Tokopedia atau Bukalapak. Mereka berhasil tumbuh sangat pesat karena suntikan dana investor besar-besaran di awal, meskipun harus merelakan sebagian kepemilikan bisnisnya ke tangan investor.
Dari semua ini, yang paling penting adalah kita harus tahu dulu tujuan kita sebenarnya dalam menjalankan bisnis. Kalau kita pengen punya kebebisan penuh, nggak dikejar-kejar target pertumbuhan agresif, dan pengen menikmati proses, bootstrapping jelas pilihan yang lebih cocok. Tapi kalau kita punya ambisi besar buat scale up cepat, siap dengan tekanan investor, dan siap berbagi kepemilikan bisnis dengan pihak lain, maka fundraising jelas pilihan yang sangat menarik untuk dicoba.
Intinya, nggak ada pilihan yang lebih baik secara absolut antara bootstrapping atau fundraising. Yang ada adalah pilihan yang lebih cocok buat karakter founder dan bisnis kita masing-masing. Yang terpenting adalah kita sadar sepenuhnya tentang konsekuensi dan tanggung jawab dari pilihan tersebut. Jangan sampai hanya karena ikut tren, kita malah kehilangan kebebasan dan tujuan asli kita dalam membangun bisnis.
Apapun pilihan yang kita ambil, jangan lupa bahwa yang paling menentukan sukses nggaknya bisnis kita bukan cuma soal modal. Tapi tentang gimana kita bisa kelola bisnis dengan baik, tahu kapan harus ekspansi, tahu kapan harus menghemat, dan selalu fokus pada kebutuhan pelanggan