
Sering banget kita ngeliat dua orang debat, satu ngomong, “ini kan rasional,” sementara yang satu lagi jawab, “tapi itu nggak masuk akal.” Kalau kita denger secara sekilas, keduanya kelihatan kayak punya makna yang sama. Tapi sebenernya, ada jurang yang lumayan lebar antara sesuatu yang rasional dan sesuatu yang masuk akal. Dan justru di jurang itu, banyak banget keputusan hidup yang terbentuk. Mulai dari cara kita ambil keputusan bisnis, ngatur keuangan, bangun hubungan, sampe hal-hal kecil kayak beli kopi pagi-pagi.
Secara teknis, hal yang rasional itu berbasis logika, biasanya punya dasar argumen yang bisa dijabarkan dengan sistematis. Sedangkan yang masuk akal itu lebih ke sesuatu yang nyambung di pikiran kita, bisa jadi karena pengalaman, intuisi, atau hal-hal yang udah sering kita temui sehari-hari. Masuk akal itu nggak selalu harus logis. Dan yang logis, belum tentu bisa diterima sebagai sesuatu yang masuk akal buat semua orang. Karena konteksnya bisa beda-beda.
Contohnya gini, secara rasional, ngopi di rumah jauh lebih hemat daripada ngopi di coffee shop setiap hari. Kita bisa hitung, satu cup kopi seharga Rp40 ribu x 30 hari = Rp1,2 juta. Padahal kalau bikin sendiri, mungkin cuma habis Rp200 ribu sebulan. Rasional banget dong, tinggal stop jajan kopi, terus uangnya bisa ditabung atau dipakai buat hal lain. Tapi buat banyak orang, ngopi di luar itu masuk akal karena jadi bagian dari rutinitas yang bikin semangat, ada faktor sosialnya juga, bisa sambil kerja atau ketemu teman. Jadi walau keputusan itu nggak “rasional” secara ekonomi, tapi tetap “masuk akal” buat mereka.
Begitu juga dalam bisnis. Kadang kita nemu peluang yang kelihatannya nggak masuk akal, kayak menjual air mineral premium di antara produk sejenis yang harganya seperempatnya. Tapi ternyata, brand-brand besar bisa sukses ngejual air mineral dengan harga yang jauh lebih mahal, karena mereka paham positioning dan persepsi pasar. Rasional? Mungkin enggak. Tapi masuk akal? Buat market tertentu, iya banget.
Sering kali, ketika kita terlalu terpaku pada yang rasional, kita bisa kehilangan sentuhan manusiawi dari sebuah keputusan. Kita jadi dingin, hitung-hitungan terus, dan nggak ngasih ruang buat emosi atau perasaan. Padahal dalam kenyataan hidup, orang nggak selalu beli karena harga atau fitur. Mereka beli karena percaya, nyaman, atau karena ada emosi yang muncul saat ngeliat produk atau layanan kita. Itulah kenapa iklan-iklan sering mainin emosi, bukan logika. Karena mereka ngerti bahwa manusia itu makhluk yang berpikir, tapi juga sangat perasa.
Sebaliknya, keputusan yang cuma berdasarkan “masuk akal” kadang juga bisa menyesatkan. Karena persepsi bisa salah. Bisa jadi kita ambil keputusan yang terlihat wajar, tapi ternyata salah arah karena nggak pakai data atau logika yang kuat. Misalnya, kita ngira bahwa makin sering posting di media sosial, makin banyak penjualan. Masuk akal sih. Tapi kalau nggak disertai data dan strategi, bisa jadi cuma buang waktu. Yang penting bukan seberapa sering, tapi seberapa relevan dan seberapa efektif kontennya.
Di bisnis, perbedaan antara rasional dan masuk akal juga sering muncul pas bikin keputusan soal pivot, pricing, atau fundraising. Kadang investor pengen semua hal kelihatan rasional di spreadsheet: cost structure, CAC, LTV, unit economics, dan sebagainya. Tapi dari sisi founder, banyak keputusan yang lebih ke “masuk akal” aja karena mereka yang ngadepin pelanggan tiap hari. Dan dua perspektif ini, kalau bisa dikombinasikan, bisa jadi kekuatan besar buat ambil keputusan yang lebih balance.
Salah satu jebakan dalam berbisnis adalah terlalu rasional sampe jadi takut ambil risiko. Kita pengen semua datanya ada, semua modelnya jalan, baru berani ngelangkah. Padahal banyak banget inovasi besar di dunia yang justru muncul karena keberanian ambil langkah yang belum tentu masuk akal saat itu. Dulu orang pikir beli barang lewat internet itu aneh. Siapa yang mau transfer duit duluan ke orang yang nggak dikenal? Tapi lihat sekarang, e-commerce jadi bagian dari hidup kita.
Sebaliknya, terlalu mengandalkan “masuk akal” juga bisa bikin kita stuck di zona nyaman. Kita cuma ngelakuin hal-hal yang familiar, yang bisa kita pahami dengan cepat, tapi nggak berani eksplor yang baru karena takut dianggap aneh atau nggak umum. Padahal inovasi justru lahir dari keberanian buat menembus batasan “masuk akal” versi kebanyakan orang.
Jadi sebenernya, cara berpikir yang sehat bukan milih salah satu di antara rasional atau masuk akal. Tapi tahu kapan kita perlu pakai logika dan kapan kita boleh percaya sama intuisi. Dua-duanya penting. Kita bisa pake logika buat ngebangun struktur dan proses. Tapi intuisi dan persepsi tetep dibutuhin buat berhubungan sama manusia, ngejalanin strategi, dan ngejaga agar kita tetap relevan.
Kalau lagi ambil keputusan penting, coba aja tanya ke diri sendiri: apakah ini rasional? Apakah ini masuk akal? Dan kalau jawabannya dua-duanya “iya”, kemungkinan besar kita udah ada di jalur yang tepat. Tapi kalau keduanya beda arah, berarti waktunya buat ngegali lebih dalam. Apa yang bikin rasionalitas kita nggak nyambung sama intuisi? Atau sebaliknya, apakah intuisi kita emang bisa dibuktikan secara rasional?
Dalam kehidupan pribadi pun, perbedaan dua konsep ini sering bikin konflik. Misalnya dalam hubungan, secara rasional kita tahu hubungan itu nggak sehat. Tapi tetap dijalanin karena “masuk akal” secara emosional. Atau sebaliknya, hubungan udah baik, tapi kita overthinking, terus cari-cari alasan logis buat cabut. Di titik ini, penting banget buat balance dua hal itu.
Banyak banget contoh di sekitar kita yang menggambarkan betapa pentingnya kita memahami dua sisi ini. Bahkan dalam politik, ekonomi, pendidikan, semuanya. Kebijakan yang terlalu rasional tapi nggak masuk akal secara sosial bisa ditolak masyarakat. Sementara kebijakan yang masuk akal secara publik tapi nggak punya dasar logika yang kuat bisa jadi boomerang.
Kita juga bisa belajar dari para pemimpin hebat, gimana mereka pinter banget membaca situasi, tahu kapan harus mikir rasional, dan kapan harus mengikuti “sense of what’s right”. Leadership itu bukan soal pintar hitung-hitungan aja, tapi juga ngerti konteks dan ngerasain getaran psikologis tim atau market yang mereka pimpin.
Dalam bisnis, keputusan pricing misalnya, sering nggak rasional di awal. Tapi karena sense-nya jalan, bisa sukses besar. Kayak waktu Netflix pertama kali nawarin sistem langganan all you can watch. Secara logika bisnis lama, itu kebangetan. Tapi ternyata itu langkah jitu yang ngebentuk ulang industri.
Begitu juga sama konsep membership di gym, atau freemium di SaaS. Rasionalitas bisa kasih guideline, tapi kreativitas dan intuisi adalah bahan bakar utama inovasi.
Kita hidup di era yang kompleks, dan kompleksitas itu butuh keseimbangan antara otak kiri dan otak kanan. Kita butuh struktur, tapi juga fleksibilitas. Butuh data, tapi juga insting. Butuh spreadsheet, tapi juga perasaan. Dan dua-duanya bisa saling melengkapi kalau kita sadar kapan harus pakai yang mana.
Jadi mulai sekarang, pas kita mau ambil keputusan penting, jangan buru-buru menilai sesuatu hanya karena “nggak logis” atau “nggak biasa”. Kadang justru di situ ada peluang besar. Tapi jangan juga sembarang ngikutin kata hati kalau nggak ada logikanya sama sekali. Coba dilihat dari dua sisi: rasional dan masuk akal. Kalau bisa nemu titik temu di antara keduanya, kemungkinan besar itu keputusan terbaik.
Akhirnya, hidup itu bukan soal jadi orang yang selalu logis atau selalu realistis. Tapi jadi orang yang ngerti kapan harus mikir dan kapan harus ngerasa. Karena di dunia yang makin rumit kayak sekarang, bukan cuma kecerdasan yang bikin kita survive, tapi juga kebijaksanaan.