
Pernah nggak merasa sudah menyampaikan argumen dengan penuh percaya diri, tapi ternyata orang lain masih bisa membantah dengan gampang? Atau sebaliknya, kita sering merasa kalah debat padahal isi argumen lawan sebenarnya nggak kuat-kuat amat. Nah, sering kali ini bukan soal pintar atau tidak, melainkan soal jebakan dalam pola pikir yang namanya logic fallacy. Ini semacam kesalahan berpikir yang tampak meyakinkan dari luar, tapi sebenarnya rapuh. Kalau kita nggak hati-hati, bisa jatuh jadi korban. Yang lebih parah, tanpa sadar kita juga sering melakukannya dalam kehidupan sehari-hari, entah saat ngobrol, bikin konten, pitching bisnis, atau bahkan sekadar bercanda dengan teman.
Logic fallacy itu ibarat ilusi. Dari kejauhan terlihat solid, tapi begitu didekati dan diperhatikan detailnya, kelihatan retak-retaknya. Misalnya saja yang paling populer, ad hominem. Alih-alih membantah ide yang dibawa, justru yang diserang orangnya. Bayangkan ada orang presentasi tentang strategi pemasaran digital, lalu seseorang nyeletuk, “Ah, pendapatmu nggak penting, perusahaanmu aja nggak berkembang.” Padahal seharusnya yang diuji adalah isi strategi, bukan siapa yang menyampaikannya. Sayangnya, cara seperti ini sering berhasil membuat orang lain terpengaruh. Serangan personal terasa lebih kuat daripada diskusi data, meskipun jelas tidak relevan.
Jenis lain yang sama menyebalkannya adalah strawman. Ini terjadi ketika argumen lawan dipelintir jadi versi lemah atau konyol supaya gampang dihantam. Misalnya, ada yang bilang, “Pendidikan sebaiknya lebih fleksibel, tidak melulu soal nilai ujian.” Lalu ada yang membalas, “Jadi maksudmu anak-anak bebas nggak perlu belajar?” Itu jelas bukan maksud awal. Tapi karena sudah dipelintir begitu, diskusi jadi jalan buntu. Banyak orang yang terjebak pola ini, apalagi di media sosial di mana kutipan bisa diambil setengah, konteks bisa dipotong, dan akhirnya lawan bicara kelihatan salah padahal tidak.
Selain itu, ada bandwagon fallacy. Pola ini gampang sekali muncul dalam kehidupan sehari-hari. Prinsipnya sederhana: kalau banyak orang melakukannya, berarti itu benar. Contoh paling gampang: “Kenapa harus ikut tren investasi ini? Karena semua orang juga pada beli.” Padahal, kebenaran atau keuntungan tidak bisa diukur hanya dari jumlah orang yang ikut. Kalau pola pikir ini dipakai dalam bisnis, risikonya besar banget. Bisa-bisa kita cuma ikut arus tanpa analisis matang. Ini yang membuat banyak orang terjebak tren sesaat, entah itu di dunia investasi, bisnis, atau bahkan gaya hidup.
Lalu ada jebakan yang dikenal dengan nama false dilemma. Ini adalah situasi ketika kita diberi kesan bahwa pilihan hanya ada dua, padahal kenyataannya banyak sekali alternatif lain. Misalnya, “Kalau tidak mendukung kebijakan ini, berarti tidak cinta negara.” Padahal jelas ada kemungkinan seseorang tidak setuju dengan kebijakan tertentu, tapi tetap cinta negaranya. Logika hitam-putih semacam ini berbahaya karena menyederhanakan masalah kompleks seolah cuma ada dua sisi. Kalau ini yang jadi dasar pengambilan keputusan, jelas hasilnya bisa menyesatkan.
Tidak kalah menarik, ada juga appeal to authority. Ini terjadi ketika sebuah argumen dipercaya hanya karena diucapkan oleh sosok berpengaruh, meskipun tidak relevan dengan bidangnya. Misalnya, ada figur publik terkenal yang ngomong tentang kesehatan, tapi latar belakangnya sama sekali bukan medis. Banyak orang langsung percaya, padahal otoritas di satu bidang tidak otomatis berlaku di bidang lain. Pola ini sering dimanfaatkan dalam pemasaran atau politik, karena otak manusia cenderung lebih mudah menerima sesuatu kalau yang ngomong adalah orang terkenal.
Selain yang populer tadi, sebenarnya masih banyak jenis fallacy lain. Ada slippery slope, yaitu logika “kalau ini terjadi, maka pasti ujung-ujungnya akan sampai ke hal ekstrem.” Misalnya, “Kalau anak-anak dikasih main game dua jam sehari, lama-lama mereka akan kecanduan dan masa depannya hancur.” Padahal nggak selalu begitu. Dua jam main game belum tentu berakhir buruk, karena ada banyak faktor lain yang memengaruhi. Lalu ada hasty generalization, yaitu menarik kesimpulan besar hanya dari sampel kecil. Contohnya, “Saya kenal dua orang yang sukses tanpa kuliah, berarti kuliah tidak penting.” Jelas ini terlalu gegabah, karena sampelnya terlalu kecil untuk mewakili kebenaran yang lebih luas.
Yang sering tidak disadari juga adalah confirmation bias. Meskipun ini lebih ke pola psikologis daripada fallacy formal, efeknya besar sekali. Kita cenderung mencari informasi yang mendukung apa yang sudah kita percaya, dan menolak yang bertentangan. Akhirnya argumen yang kita bangun jadi tidak obyektif, tapi penuh bias. Misalnya, seorang investor yang sudah yakin sebuah startup bagus akan mencari berita positif tentang startup itu, tapi menutup mata terhadap tanda-tanda negatif. Ini bikin keputusan jadi tidak sehat.
Kalau diperhatikan, fallacy ini bukan cuma soal debat kusir atau diskusi akademis. Dalam kehidupan nyata, dampaknya besar sekali. Dalam dunia bisnis, misalnya, founder startup bisa kehilangan arah kalau mengambil keputusan berdasarkan fallacy. Misalnya terjebak pada appeal to popularity, dengan berpikir, “Karena produk ini viral, berarti pasti menguntungkan.” Padahal tidak semua yang viral bisa sustain dalam jangka panjang. Begitu juga investor yang terjebak pada bandwagon, ikut investasi hanya karena banyak orang lain melakukannya.
Di politik, fallacy dipakai sebagai senjata sehari-hari. Ad hominem dipakai untuk menjatuhkan lawan, strawman untuk memelintir argumen, dan false dilemma untuk memaksa publik memilih sisi tertentu. Tidak heran kalau debat publik sering kali lebih seperti panggung retorika daripada diskusi logis. Siapa yang jago main retorika, meskipun argumennya rapuh, bisa tetap terlihat meyakinkan.
Dalam kehidupan personal pun, fallacy sering hadir tanpa sadar. Misalnya saat memberi nasihat ke teman. Ada teman yang curhat soal pekerjaannya, lalu kita jawab, “Kalau nggak suka kerja di sana, berarti kamu malas.” Padahal jelas masalahnya bisa lebih kompleks daripada sekadar malas. Atau saat membesarkan anak, orang tua sering terjebak slippery slope dengan berpikir, “Kalau anak dibiarkan main keluar sore ini, lama-lama akan kebiasaan buruk dan jadi nakal.” Padahal tidak ada jaminan hubungan sebab-akibat sekuat itu.
Poin pentingnya, mengenali logic fallacy membuat kita lebih sadar dan kritis. Pertama, kita jadi bisa memfilter argumen yang masuk ke kepala. Tidak semua yang terdengar meyakinkan itu benar. Kedua, kita jadi bisa lebih hati-hati saat membangun argumen sendiri, supaya tidak terjebak pada jebakan yang sama. Ketiga, kita bisa mengedukasi orang lain agar diskusi lebih sehat dan produktif.
Belajar tentang fallacy juga melatih kerendahan hati. Karena sering kali kita sadar, ternyata diri sendiri pun banyak melakukan kesalahan berpikir ini. Rasanya menampar ketika menyadari betapa seringnya menyerang orang bukan argumennya, atau betapa seringnya ikut tren hanya karena semua orang ikut. Tapi justru di situlah letak nilai belajarnya. Kesadaran adalah langkah pertama untuk jadi lebih baik.
Di era banjir informasi seperti sekarang, memahami fallacy jadi semacam tameng. Bayangkan kita setiap hari dibombardir berita, opini, iklan, promosi, politik, sampai obrolan receh di media sosial. Tanpa kemampuan memilah, kita bisa tenggelam dan terseret arus. Dengan memahami fallacy, kita jadi punya kacamata tambahan. Kita bisa bertanya, “Apakah argumen ini benar-benar logis, atau cuma sekadar terlihat meyakinkan karena dibungkus retorika?”
Memahami logic fallacy bukan soal ingin selalu menang debat. Bukan juga soal merasa paling pintar. Tapi lebih ke menjaga kejernihan pikiran, agar tidak mudah dimanipulasi, tidak gampang terbawa emosi, dan bisa mengambil keputusan dengan dasar yang lebih kokoh. Entah dalam bisnis, politik, atau sekadar kehidupan sehari-hari, kemampuan berpikir kritis ini selalu jadi modal penting. Sama seperti jalan yang penuh lubang, fallacy itu ada di mana-mana. Kalau kita tahu polanya, kita bisa menghindar, bahkan membantu orang lain supaya tidak jatuh di lubang yang sama.