
Kita sering banget merasa bahwa diri kita yang sekarang adalah versi final. Kita ngerasa udah tau mau jadi apa, suka apa, mau ke mana, dan siapa diri kita. Padahal kalau kita lihat ke belakang, 5–10 tahun lalu, semua itu juga udah pernah kita yakini dan ternyata banyak yang berubah. Ironisnya, meski tahu kita pernah berubah, kita tetap merasa di titik sekarang kita nggak akan berubah lagi. Inilah yang disebut sebagai ilusi akhir sejarah.
Ilusi akhir sejarah itu kayak pikiran halus yang ngebisikin bahwa kita udah “selesai”. Udah tau diri kita siapa dan akan seperti ini selamanya. Padahal hidup bukan film yang udah tamat. Kita ini terus bertumbuh, dipengaruhi pengalaman, orang-orang di sekitar, bahkan kejadian random yang nggak kita prediksi.
Contoh gampangnya: waktu umur 18 mungkin kita merasa jurusan kuliah kita adalah panggilan hidup. Umur 25 kita bisa bilang, “kenapa dulu mikir kayak gitu?”. Tapi di umur 25, kita lagi-lagi merasa bahwa diri kita sekarang udah “bener”. Nanti umur 35 bisa jadi mikir hal yang sama: “apa-apaan dulu kerja kayak gitu?”
Dan loop ini terus berulang. Diri kita yang sekarang akan diketawain sama versi kita di masa depan. Tapi tetap aja, kita ngotot bahwa versi sekarang ini final. Ini yang bikin banyak orang ambil keputusan jangka panjang berdasarkan diri yang belum tentu relevan nanti.
Riset Daniel Gilbert dari Harvard bilang bahwa dari umur 18 sampai 68, orang terus berubah—secara nilai, minat, bahkan kepribadian. Tapi kita selalu meremehkan seberapa besar perubahan itu. Kita kira perubahan itu cuma masa-masa remaja, padahal usia dewasa juga terus berubah. Kita nggak pernah berhenti berkembang, tapi pikiran kita berhenti memproyeksikan perubahan itu.
Makanya penting banget untuk kita selalu kasih ruang ke diri kita buat berubah. Jangan terlalu kaku. Jangan ngasih label ke diri sendiri seolah itu permanen. Kita boleh punya rencana, tapi jangan lupa kasih ruang untuk penyesuaian.
Dan yang paling penting: jangan terlalu keras menilai keputusan di masa lalu. Diri kita yang dulu membuat keputusan dengan informasi dan kapasitas pada saat itu. Nggak adil kalau kita paksa dia mikir seperti kita yang sekarang.
Sering kali, kita terlalu fokus ingin stabil. Ingin cepat tahu, ingin cepat settle, ingin punya jawaban pasti atas semua hal dalam hidup. Tapi mungkin yang lebih sehat adalah menerima bahwa semua ini terus bergerak. Bahwa kita adalah makhluk yang dinamis, bukan template tetap. Dan justru itu yang bikin hidup menarik.
Ilusi akhir sejarah ini juga bikin banyak orang frustrasi. Ngerasa, “Kok dulu semangat banget ngejar ini, sekarang biasa aja? Kok dulu suka banget kerja di sini, sekarang pengen keluar aja?” Seolah ada yang salah dengan perubahan itu. Padahal bukan salah. Justru itu bagian dari tumbuh.
Coba tanya ke diri sendiri: hal-hal apa yang dulu dianggap penting banget, sekarang udah nggak terlalu relevan? Atau sebaliknya, hal-hal apa yang dulu diabaikan, sekarang justru jadi fondasi cara berpikir kita? Dari situ kita akan sadar betapa drastisnya perubahan itu.
Dan kalau sudah sadar, kita jadi bisa lebih bijak dalam membuat keputusan hari ini. Kita nggak akan terlalu impulsif, karena tahu apa yang penting hari ini belum tentu penting besok. Kita juga nggak akan terlalu keras kepala mempertahankan prinsip yang bisa aja udah expired tahun depan.
Versi kita yang sekarang itu cuma satu fase dari banyak versi lain yang akan muncul. Jadi kalau hari ini masih belum yakin sama diri sendiri, itu bukan kegagalan. Itu justru tanda kalau kita terbuka untuk bertumbuh.
Jangan takut berubah. Jangan malu berubah. Dan jangan merasa gagal hanya karena berubah. Karena selama perubahan itu membawa kita lebih dekat ke pemahaman yang lebih jujur terhadap diri sendiri, maka itu adalah progres.
Ada satu kalimat yang selalu relevan: kita belum selesai. Dan mungkin memang nggak akan pernah selesai. Tapi justru di situlah keindahannya—karena kita terus punya kesempatan untuk jadi lebih baik dari versi kita sebelumnya.
Jadi, lain kali ketika kita merasa harus cepat-cepat punya jawaban pasti, atau buru-buru membentuk identitas, tarik napas dulu. Ingat bahwa segala yang diyakini hari ini bisa berubah, dan itu bukan kelemahan. Itu adalah bagian paling manusiawi dari menjadi manusia.
Dan kalau bisa memilih satu prinsip yang dibawa ke mana-mana, mungkin ini: tetap bertumbuh, tetap terbuka, tetap rendah hati. Karena siapa kita hari ini belum tentu siapa kita nanti. Dan itu nggak apa-apa.